Sumber: http://www.takepart.com/ |
Oleh: Raden Alika Fatimah Zahra (Ilmu Pemerintahan 2014)
Berbicara
mengenai perempuan biasanya berbicara juga mengenai tatanan social yang
mengurungnya. Tidak dapat dipungkiri, di negara kita ini budaya patriarki masih
dengan kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat. Perempuan yang secara
kuantitas lebih banyak daripada laki-laki dianggap memiliki kualitas yang lebih
rendah dari pada laki-laki (inferior). Hal ini berkaitan juga dengan bagaimana
perempuan di bangun melalui salah satunya ‘Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam’, yang jelas menjadikan perempuan sebagai bagian dari laki-laki namun
tidak sebaliknya. Bagaimana sesuatu yang ‘satu’ dapat menjadi ‘satu’ apabila
ada sesuatu yang lainnya.
Berbicara
mengenai perempuan tidak terlepas juga dari pembicaraan mengenai tubuh.
Berbicara mengenai tubuh, berarti berbicara juga mengenai politik karena kaitan
yang sangat erat dalam “body politics”. Susan Bordo dalam bukunya menuliskan
bahwa “tubuh manusia itu sendiri adalah sebuah entitas politik tertulis ,
fisiologi dan morfologi yang dibentuk oleh sejarah dan praktek-praktek
penahanan dan kontrol.” Politik sering disamakan dengan upaya-upaya untuk
mencapai kekuasaan. Foucault, yang merupakan seorang gender-neutral, dalam
wacananya mengakui bahwa kekuasaan-wacana itu berpusat pada laki-laki.
Dalam
pelaksanaan politik praktis di Indonesia, awalnya perbandingan perempuan dan
laki-laki dalam parlemen atau pemerintahan sangat jauh. Namun belakangan ini
sudah mulai banyak perempuan yang ikut berpartisipasi di dalamnya terlebih
setelah dikeluarkannya UU no 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR,
DPD, dan DPRD yang disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan yaitu
kuota perempuan paling sedikit sebanyak 30%. Namun kebijakan ini menimbulkan
kekurangan yang lain, yaitu sikap parpol yang tidak serius dalam mengkader
perempuan. Perempuan hanya dijadikan syarat untuk memenuhi kuota, bukan agar
benar-benar ada keterwakilan perempuan di parlemen sana.
Secara
umum jumlah keterpilihan pe rempuan sebagai anggota legislatif hasil Pemilu
2014 mengalami penurunan di bandingkan Pemilu 2009. Berikut per olehan kursi
anggota legislatif 2014- 2019: DPR RI : Perempuan 97 (17,3%), Laki-laki 483
(86,3%) ; DPD RI : Perempuan 34 (25,8%), Laki-laki 98 (74,2%) ; DPRD Provinsi :
Perempuan 335 (15,85%), Laki-laki 1.779 (84,5%) ; DPRD Kabupaten/Kota :
Perempuan 2.406 (14,2%), Laki-laki 12.360 (85,8%).
Perempuan
dan politik adalah wacana yang menarik diperbicangkan bahkan, menjadi suatu
yang politis untuk di perdebatkan. Hal ini disebabkan oleh fakta, ketika
politik ditempatkan di wilayah publik, definisi, konsep, dan nilainilai yang
dikandungnya selalu menempatkan perempuan di luar area tersebut. Politik
didefinisikan sebagai sesuatu yang negative di mana hanya mengejar kekuasaan
semata, dan kekuasaan didominasi oleh laki-laki. Sayangnya, hingga saat ini
perkembangan perempuan dalam politik masih sebatas perdebatan tentang
partisipasi dan representasi, yang disebabkan oleh kebijakan dengan indicator
kuantitatif. Kuota 30 persen untuk reprensentasi politik perempuan, adalah
salah satu indikator tersebut. Sebagai afirmative action (tindakan khusus),
kuota memang tak boleh melupakan kualitas dari representasi tersebut.
Perempuan
harus memimpin dalam mewujudkan dan melaksanakan sistem, struktur, kebijakan,
dan program yang diperlukan agar bukan menjadi suatu hal yang tidak mungkin,
kesetaraan gender benar-benar terlaksana. Perempuan harus mengembangkan
dirinya, agar SDM perempuan yang secara kuantitas lebih banyak dari pada
laki-laki dapat mengimbangi pula dalam kualitasnya. Dengan cara seperti itulah,
lambat laun perempuan akan mendapatkan tempat yang sama juga kesempatan yang
sama dengan laki-laki dalam berbagai segmen. Jangan lagi ada buruh perempuan
yang termarjinalkan karena mudah didapat, murah, dan dapat diperlakukan
semena-mena. Perempuan yang menginginkan perubahan akan belajar dan
mengembangkan diri semaksimal mungkin agar keluar dari tatanan. Ketika
patriarki dalam suatu tatanan –yang mempunyai tujuan untuk melindungi perempuan
malah mengsubordinasikan peran perempuan itu sendiri. Ditambah lagi, saat ini
sudah banyak orang yang peduli terhadap isu perempuan yang juga merupakan isu
humanitas, dan juga sudah mulai dibuat peraturan-peraturan yang memungkinkan
perempuan bukan hanya ikut berpartisipasi, tetapi juga ikut membawa perubahan.
Referensi :
Angela King, “The Prisoner of Gender : Foucault and the Disciplining of the
Female Body”, Journal of International Women’s Studies Vol. 5, Maret 2004.
“Perempuan dan Politik”, www.indoprogress.com
Rosemary Putnam Tong, “Feminist Thought”, Jogjakarta : Jalasutra.
Borgata Hotel Casino & Spa Launches New - KTNV
ReplyDeleteBorgata Hotel 태백 출장샵 Casino & Spa in Atlantic City, New 경산 출장샵 Jersey 시흥 출장마사지 officially launched today the Borgata Rewards® 광명 출장샵 loyalty program, which 광양 출장마사지 provides