Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban
yang sama dalam politik. Namun begitu, hambatan yang timbul diantaranya karena
faktor budaya, menyebabkan representasi politik perempuan di parlemen masih
sangat rendah. Sebagai upaya mengejar ketertinggalan tersebut, disahkan Pasal
214 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang memberikan quota minimal 30 persen bagi
perempuan di parlemen.
Pada awalnya UU ini dikeluarkan sebagai jawaban atas
kebijakan pemerintahan yang dianggap memihak laki-laki sehingga pemerintah
memutar otak untuk mencari solusi agar terjadi perubahan dan dirumuskan UU ini
dengan maksud perempuan akan “menyurakan” isu-isu kesetaraan hak.
Ketika kuota 30 persen representasi politik perempuan
sudah berhasil diraih, hal ini terbentur oleh permasalahan yang ada di
pencalonan caleg kita. Data Puskapol UI menunjukan bahwa 36% anggota legislatif
perempuan terpilih karena politik kekerabatan dengan elit yang berkuasa.
Caleg perempuan yang menang pada umumnya adalah figur
yang memiliki jaringan kekerabatan dengan elit politik dan elite ekonomi.
Sebagian besar dari mereka adalah adik, kakak, ataupun istri dari
penguasa/pejabat politik, elite ekonomi, bahkan artis, serta petinggi partai
politik yang mencalonkan mereka.
Pahit diakui
bahwa pada dasarnya ketertarikan masyarakat khususnya perempuan terhadap
politik khususnya di daerah terpencil belum mencapai angka yang ideal untuk
pemenuhan kuota 30%, hal ini menjadikan proses “kejar setoran” pada pemenuhan
kuota tersebut.
Saleh Husin
dalam pesan singkatnya megemukakan "Saya kira semua partai politik untuk
memenuhi kuantitas kuota 30 persen perempuan tidak akan ada masalah termasuk
Hanura, yang jadi masalah justru kualitasnya terutama di tingkat
kabupaten," kata ketua DPP Hanura Saleh Husin, Senin (1/4/2013). Apalagi
menurutnya, di daerah terpencil minat perempuan untuk menjadi caleg masih
sangat rendah. "Akibatnya untuk memenuhi kuantitasnya guna memenuhi aturan
tersebut maka dilakukan asal comot tanpa memperhatikan kualitasnya,"
lanjutnya. "Dan bisa dibayangkan tiba-tiba pada Pemilu nanti justru mereka
yang terpilih karena sistemnya terbuka maka produk yang dihasilkan di parlemen
pun tentu kualitasnya akan menurun pula."
Bagi saya
pribadi laki-laki maupun perempuan tak seketika mencerminkan kualitas. Seorang
wakil rakyat yang baik apakah dia laki-laki atau perempuan sadar bahwa dia
dipilih oleh rakyat yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan. Maka tugas
mereka adalah mengemban amanat rakyat dan itu bersentuhan dengan hajat hidup
semua gender. Tidak berarti jika ia seorang anggota DPR laki-laki, maka dia
boleh abai pada kepentingan kaum perempuan, begitupula sebaliknya.
Perlu dilakukan
banyak informasi bahwa perempuan bisa dan mampu bila menjadi bagian dari
pembuat kebijakan.
Dengan demikian diharapkan 30 persen kuota calon legislatif perempuan terpenuhi
tidak hanya secara kuantitas, tapi juga kualitas.